Jumat, 25 Oktober 2013

Refleksi 20 tahun: The Pains of Growing Up

di Danau Linting


28 Agustus 2012
Katanya semakin kita dewasa, hidup menjadi semakin tidak mudah. Dan pasti setiap orang yang sudah dewasa mengalami proses ini. Dimana perjalanan hidup tidak selalu mulus, dan justru itulah yang membuatmu dewasa. Kalau boleh minjem istilah Raditya Dika, dia menyebutnya ‘The Pains of Grownig Up’, di dalam bukunya Manusia Setengah Salmon. Aku terinspirasi dari tulisannya -yang walupun terkesan dodol- dia tak lupa menyelipkan pesan moral disana. Dia menulis begini..

“Lucu juga bagaimana pertumbuhan gigi menandakan pertumbuhan kita sebagai manusia. Gigi susu yang tanggal menandakan kita sudah tidak anak-anak lagi. Sementara gigi yang tumbuh belakangan, menandakan bahwa kita sudah dewasa. Gue jadi berpikir, tambah dewasa memang menyenangkan, tetapi tambah dewasa juga harus melalui rasa sakit-sakit ini. The Pains of Growing Up. ‘Pindah’ menjadi dewasa berarti siap menghadapi rasa sakit dan melihat hal-hal yang menyakitkan itu sendiri: hadir di pemakaman nenek-kakek, rasa sakit karena gagal masuk ke sekolah yang kita mau, atau rasa sakit lantaran geraham bungsu yang tumbuh. Atau kalau kata nyokap gue: salah satu tanda orang sudah dewasa adalah ketika dia sudah pernah patah hati.”

Bagian kutipan di atas itu sangat mengena ke dalam hati. Aku lantas menarik kata-kata itu ke dalam kehidupanku. Dan memang benar adanya, apa yang Radit alami, aku juga mengalaminya, dan mungkin kalian juga. Perjalanan hidupku selama 0-20 tahun bukanlah waktu yang singkat. Begitu banyak hal yang aku alami, apakah itu menyenangkan atau tidak. Aku pernah merasakan bagaimana perasaan yang luar biasa bahagia, dan sebaliknya rasa sakit yang teramat sangat. Ya! Kehidupan barangkali memang seperti musim. Berubah dan tidak selalu menyenangkan. Tinggal bagaimana cara kita menyikapi dan memetik pelajaran di dalamnya.

Dilihat dari segi usia, 20 tahun cukup untuk mengatakan “Kau sudah dewasa”. Tapi sebenarnya usia yang bertambah bukan penentu seseorang bisa dikatakan dewasa atau tidak, bukan? Dalam hal ini, dewasa adalah sifat. Ada orang yang sudah berusia 25 tahun, tapi masih terlihat kekanak-kanakan (childist) dan sebaliknya, gadis remaja berusia 17 tahun sudah bisa bersikap bijak dan berpikir dewasa. Sampai disini aku menyimpulkan bahwa bukan karena pertambahan usia yang membuat kita dewasa, tapi pengalaman dan faktor pendukung lainnya, seperti didikan orang tua, faktor lingkungan, buku yang kit abaca, tontonan yang kita lihat dan sebagainya. Dan kalau ditanya apakah aku sudah dewasa atau tidak? Aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Kita sering tidak objektif jika membuat penilaian terhadap diri sendiri. Mungkin orang yang dekat denganku yang bisa menjawabnya. Ada sebagian teman yang bilang aku dewasa, dan sebagian yang lain bilang aku seperti anak SD, yah..lebih tepatnya tinggi badanku yang kayak anak SD (yaelah, tinggian aku 10 cm kali..ckckck). Tapi, kalau orang tuaku sendiri bilang, aku kadang-kadang dewasa dan kadang-kadang childist (karena masih suka ngambekan). Yap, ternyata aku belum konsisten dalam hal ini, hehe.

Well, sebenarnya harapanku yang terbesar  selain terkabulnya cita-cita, adalah hubunganku dengan Allah. Bertambah usia, berarti bertambah satu tingkat lebih dekat dengan-Nya, bahkan kalau bisa lebih. Semisal hari ini kita menjad hamba Allah, lalu kemudian kita naik level menjadi teman Allah. Ya teman! Teman dalam arti dekat, mengenalnya, memahaminya, dan sampailah kita ke tingkat mengarifinya. Tentu tidak mudah, sangat sangat tidak mudah. Sama seperti proses menuju grow up, menuju Allah pun akan kita temui pains, hal-hal yang juga menyakitkan. Karena kedua proses  itu otomotis dijalani secara bersamaan. Tapi, ibarat orang yang jatuh cinta, kalau sudah benar-benar cinta, apapun akan kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita cinta (Allah).

Tidak ada komentar: