![]() | ||
Gambar dari Google |
Disinilah aku berada. Di suatu tempat
yang aku sendiri tidak tahu dimana. Sudah dua jam aku berjalan terus dan terus
tanpa tahu kemana sebenarnya tujuanku. Aku hanya ingin berjalan. Menjauh dari
sesuatu yang, ah..kurasa aku sendiripun tak akan bisa menghindarinya meski
sebenarnya aku ingin. Terlalu sulit kurasa. Bagaimana tidak? Disaat aku sudah
terbiasa dengan semuanya, tapi karena sesuatu hal, aku disuruh untuk melupakanya
begitu saja. Sakit. Ada yang sakit di bagian dada, saat aku harus berjuang
untuk itu. Tapi aku tidak akan menangis. Bukan hanya karena aku adalah seorang
laki-laki, tapi semenjak kematian ayah dan ibu satu tahun silam karena
kecelakaan, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa apapun yang terjadi
aku tidak akan menangis.
Kulihat langit, tak ada bintang. Yang
ada hanya awan-awan kelabu yang semakin menambah pekat hatiku. Malam kian larut
rupanya. Tapi aku tidak merasa lelah sedikitpun. Sakit ini malah membuatku
semakin kuat. Yah, hanya kuat fisik. Tapi hatiku rasanya remuk. Bagai digodam
palu raksasa, aku sepertinya memilih untuk hilang ingatan saja, agar bisa
kulupakan rasa sakit ini. Rasa sakit dikarenakan sebuah kenangan. Memang sebagian orang beranggapan
bahwa tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, tapi bagiku sebaliknya,
tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan.
***
“Kurasa kita tidak bisa bersama lagi.”
Katamu suatu ketika, saat kita sedang
duduk di bangku taman, tempat dimana kita biasa menghabiskan senja. Aku begitu
terpukul mendengarnya.
“Kenapa? Bukankah selama ini kita tidak
ada masalah”
“Iya, kau benar. Tapi aku merasa kita
sudah tidak cocok.”
“Tidak cocok setelah kita sudah
berhubungan selama 3 tahun. Itu tidak rasional.”
“Itu rasional Rey. Akhir-akhir ini aku
merasa kita sudah tidak cocok satu sama lain.”
“Tapi kenapa kau tidak pernah
membahasnya. Bukankah kita selalu mengkomunikasikan setiap permasalahan yang
ada?”
Kau diam. Kulihat gurat wajahmu, datar
tanpa ekspresi. Tidak ada kesedihan dan penyesalan yang terlihat disana. Padahal
baru kemarin kulihat senyummu begitu merekah, tapi sekarang aku sama sekali tidak melihatnya.
“Terkadang ada hal-hal yang tidak bisa
dikatakan, tapi hanya perlu dimengerti.”
“Itu bukan kau. Bukan Irena yang biasa kukenal. Irena yang kukenal selalu
mengatakan semuanya, selalu membahas hal yang kecil sekalipun."
“Iya, aku memang bukan Irena yang dulu lagi."
Kata-katamu begitu menyesakkanku.
"Rey, kita
sampai disini saja. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi."
"Tapi
kenapa? Apa salahku? Kau tidak memberikan penjelasan apapun padaku."
"Tak ada
yang perlu dijelasin Rey."
"Apa kau
tidak mencintaiku lagi? Apakah cerita kita selama tiga tahun ini tidak penting
buatmu?"
"Sudahlah
Rey, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Dan lebih baik,
kita lupakan semua yang sudah terjadi diantara kita. Aku.....minta maaf."
Kemudian kau pergi tanpa menoleh kearahku lagi. Tubuhku
kaku. Seketika aku lupa bagaimana caranya bergerak. Padahal aku saat ingin
mengejarmu, setidaknya menggenggam tanganmu sekali lagi dan mencegahmu agar tidak pergi. Tapi apa yang bisa kulakukan. Aku
hanya bisa diam mematung disini, melihat bayangmu yang semakin menjauh. Aku baru ingat bahwa hari ini
adalah ulang tahunku yang kedua puluh, ulang tahunmu, ulang tahun kita yang sama. Beginikah cara kita merayakannya?
***
Aku masih
berjalan terus dan terus. Berharap bisa melihat sesuatu yang bisa mengalihkan
perhatianku dari rasa sakit ini. Seandainya aku amnesia detik ini juga. Aku
pasti dengan mudah bisa melupakanmu, Irena. Namun lihatlah, sejauh apapun aku
berjalan bayangmu terus bermain disini, dipikiranku.
Kini aku sudah sangat lelah. Jalan-jalan
yang kulewati ini sama sekali tidak bisa menghapus jejakmu. Seberapapun keras
usahaku, aku tetap tidak bisa. Lantas dari arah berlawanan, samar-samar kulihat
sebuah benda hitam yang besar. Dia berjalan kearahku, semakin dekat. Suaranya
menderu, seperti suara yang tak asing. Kini dia semakin dekat dan ah, tubuhku
tertabrak sesuatu. Sakit. Sakit yang tak biasa. Aku baru kali ini merasakan
sakit yang semacam ini.
Dan aku semakin merintih tatkala kurasa kepalaku
terbentur sesuatu. Aku menjerit sekeras-kerasnya, rasa sakit yang luar biasa. Kini
aku sudah tak tahan, benar-benar tak tahan lagi. Begitu banyak darah mengalir
disekitarku. Aku ingin tidur, sebentar saja. Dan berharap, saat terbangun
nanti, aku benar-benar sudah amnesia.
NB: Cerpen ini masuk dalam buku Antologi Cerpen Melupakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar