Jumat, 25 Oktober 2013

Cerpen 5: Amnesia

Gambar dari Google  

Disinilah aku berada. Di suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu dimana. Sudah dua jam aku berjalan terus dan terus tanpa tahu kemana sebenarnya tujuanku. Aku hanya ingin berjalan. Menjauh dari sesuatu yang, ah..kurasa aku sendiripun tak akan bisa menghindarinya meski sebenarnya aku ingin. Terlalu sulit kurasa. Bagaimana tidak? Disaat aku sudah terbiasa dengan semuanya, tapi karena sesuatu hal, aku disuruh untuk melupakanya begitu saja. Sakit. Ada yang sakit di bagian dada, saat aku harus berjuang untuk itu. Tapi aku tidak akan menangis. Bukan hanya karena aku adalah seorang laki-laki, tapi semenjak kematian ayah dan ibu satu tahun silam karena kecelakaan, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa apapun yang terjadi aku tidak akan menangis.


Kulihat langit, tak ada bintang. Yang ada hanya awan-awan kelabu yang semakin menambah pekat hatiku. Malam kian larut rupanya. Tapi aku tidak merasa lelah sedikitpun. Sakit ini malah membuatku semakin kuat. Yah, hanya kuat fisik. Tapi hatiku rasanya remuk. Bagai digodam palu raksasa, aku sepertinya memilih untuk hilang ingatan saja, agar bisa kulupakan rasa sakit ini. Rasa sakit dikarenakan sebuah kenangan. Memang sebagian orang beranggapan bahwa tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, tapi bagiku sebaliknya, tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan.
***
“Kurasa kita tidak bisa bersama lagi.”

Katamu suatu ketika, saat kita sedang duduk di bangku taman, tempat dimana kita biasa menghabiskan senja. Aku begitu terpukul mendengarnya.

“Kenapa? Bukankah selama ini kita tidak ada masalah”

“Iya, kau benar. Tapi aku merasa kita sudah tidak cocok.”

“Tidak cocok setelah kita sudah berhubungan selama 3 tahun. Itu tidak rasional.”

“Itu rasional Rey. Akhir-akhir ini aku merasa kita sudah tidak cocok satu sama lain.”

“Tapi kenapa kau tidak pernah membahasnya. Bukankah kita selalu mengkomunikasikan setiap permasalahan yang ada?”

Kau diam. Kulihat gurat wajahmu, datar tanpa ekspresi. Tidak ada kesedihan dan penyesalan yang terlihat disana. Padahal baru kemarin kulihat senyummu begitu merekah, tapi sekarang aku sama sekali tidak melihatnya.

“Terkadang ada hal-hal yang tidak bisa dikatakan, tapi hanya perlu dimengerti.”

Itu bukan kau. Bukan Irena yang biasa kukenal. Irena yang kukenal selalu mengatakan semuanya, selalu membahas hal yang kecil sekalipun."

Iya, aku memang bukan Irena yang dulu lagi."

Kata-katamu begitu menyesakkanku.

"Rey, kita sampai disini saja. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi."

"Tapi kenapa? Apa salahku? Kau tidak memberikan penjelasan apapun padaku."

"Tak ada yang perlu dijelasin Rey."

"Apa kau tidak mencintaiku lagi? Apakah cerita kita selama tiga tahun ini tidak penting buatmu?"

"Sudahlah Rey, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Dan lebih baik, kita lupakan semua yang sudah terjadi diantara kita. Aku.....minta maaf."

Kemudian kau pergi tanpa menoleh kearahku lagi. Tubuhku kaku. Seketika aku lupa bagaimana caranya bergerak. Padahal aku saat ingin mengejarmu, setidaknya menggenggam tanganmu sekali lagi dan mencegahmu agar tidak pergi. Tapi apa yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa diam mematung disini, melihat bayangmu yang semakin menjauh. Aku baru ingat bahwa hari ini adalah ulang tahunku yang kedua puluh, ulang tahunmu, ulang tahun kita yang sama. Beginikah cara kita merayakannya?
***
Aku masih berjalan terus dan terus. Berharap bisa melihat sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku dari rasa sakit ini. Seandainya aku amnesia detik ini juga. Aku pasti dengan mudah bisa melupakanmu, Irena. Namun lihatlah, sejauh apapun aku berjalan bayangmu terus bermain disini, dipikiranku.

Kini aku sudah sangat lelah. Jalan-jalan yang kulewati ini sama sekali tidak bisa menghapus jejakmu. Seberapapun keras usahaku, aku tetap tidak bisa. Lantas dari arah berlawanan, samar-samar kulihat sebuah benda hitam yang besar. Dia berjalan kearahku, semakin dekat. Suaranya menderu, seperti suara yang tak asing. Kini dia semakin dekat dan ah, tubuhku tertabrak sesuatu. Sakit. Sakit yang tak biasa. Aku baru kali ini merasakan sakit yang semacam ini.

Dan aku semakin merintih tatkala kurasa kepalaku terbentur sesuatu. Aku menjerit sekeras-kerasnya, rasa sakit yang luar biasa. Kini aku sudah tak tahan, benar-benar tak tahan lagi. Begitu banyak darah mengalir disekitarku. Aku ingin tidur, sebentar saja. Dan berharap, saat terbangun nanti, aku benar-benar sudah amnesia.

NB: Cerpen ini masuk dalam buku Antologi Cerpen Melupakan


Tidak ada komentar: