![]() |
Gambar dari Google |
4
Agustus 2012
Sebelumnya
jangan salah paham dengan judul catatan di atas. Itu bukan judul lagu dangdut
yang akan aku nyanyikan bersama Jannah. Kan nngak lucu kalau Trio Macan
tersaingi sama Duo Macan (kami). Jadi itu judul adalah kejadian yang tadi malam
kami alami saat pulang dari buka bersama. Aku tidak akan mengatakan kejadian
hari itu adalah hari sial buat kami. Berharap ini ujian dari Allah, karena
kalau dipikir-pikir kami nggak salah-salah amat.
Well,
aku akan sedikit cerita dari awal . Tadi malam (3 Agustus), aku dan beberapa
teman kuliah lagi buka puasa bersama di carefur. Setelah selesai makan kami
memutuskan untuk keliling-keliling sebentar. Jannah, salah satu teman nanya
tentang satu daerah di Setia Budi ke aku, karena kebetulan rumahku dekat dengan
daerah itu. Dia berencana mau ke tempat saudaranya kalau nggak salah. Dan
supaya mempermudah dia sampai disana, kami berdua sepakat pulang bareng naik
kereta miliknya. Jadi wajarlah kalau aku tidak memakai helm, karena kejadiannya
mendadak. Dan dipikir-pikir kayaknya nggak ada polisi malam-malam gini. Dan
sekitar pukul setengah Sembilan kami pun pulang.
Dikarenakan
aku tidak tahu jalan tikus atau jalan memotong supaya lebih cepat, jadi kami
jalan dari jalan besar yang memang jalan itu kulewati setiap hari kalau naik
angkot ke kampus. Lalu sampailah kami di jl. Siti Hajar. Disinilah
tilang-menilang itu terjadi. Benar benar di luar dugaan. Sewaktu lagi berhenti
karena lampu merah, aku melihat ke sekeliling (posisinya aku lagi dibonceng).
Tak sengaja mataku menangkap beberapa orang polisi di pinggir kiri jalan agak
ke dalam, lagi menilang beberapa pengendara lain. Ya ampun! Aku yang agak
panik, bisik-bisik ke Jannah. “Jan, Jan, ada Bard pitt.” Duh, salah! Maksudnya
“Jan, Jan, ada polisi!”
Aku
buru-buru minta ke Jannah supaya keretanya maju ke depan agar kami tertutupi
sama angkot. Sayangnya, kereta di depan kami menghalangi. Kami, dengan suara
yang agak dipelan-pelankan, manggil-manggil kakak di kereta itu supaya
keretanya maju ke depan dikit, biar kami bisa lewat. Tapi, si kakak nggak
dengar-dengar. Nggak mungkin kan kami harus teriak kayak banci lagi pake suara
cowok, “Wooyy, majukan keretanya!” Euuww. Jadilah, kami masih dengan suara di
pelan manggil-manggil si kakak. Tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak
pada kami. Pak Polisi dengan perut buncit terlanjur mendekati kami dan menyuruh
kami menepikan keretanya.
Aku
karena baru pertama kali ini kena tilang, menganggap kejadian ini lucu. Jadi,
aku nggak berhenti ketawa-ketiwi di belakang Jannah. Mungkin, Jannah juga baru
pertama kali. Tapi, dia berusaha terlihat tenang. Aku tau, sebenarnya dialah
yang panik setengah mati karena kereta ini miliknya, tapi dia tidak mau
menampakkannya.
Lalu,
Pak Polisi meminta STNK dan SIM, dan untungnya Jannah bawa. Walaupun ini bukan
solusi, tapi paling nggak ini tidak memperumit keadaan. SIM Jannah ditahnnya.
Terus, si Pak Polisi jalan duluan ke depan dan nyuruh kami berdua ngikutin dia.
Aku masih ketawa-ketiwi di belakang Jannah sampai akhirnya dia bilang “Jangan
ketawa Endah.” Ups! Sepertinya aku sadar sesuatu dan perasaanku tiba-tiba jadi
nggak enak. Aku liat ke pengendara lain yang ditilang juga. Mungkin mereka sama
sama kami, karena salah satu tidak memakai helm.
Kemudian
Pak Polisi menunjukkan sama kami kertas yang berisikan pelanggaran-pelanggaran,
hukuman dan denda berapa yang harus kami bayar. Aku tidak Nampak jelas berapa
jumlahnya, karena posisiku agak jauh. Jannah yang udah ngeliat, ekspresi
wajahnya langsung berubah. Aku yang tadinya agak nggak perduli, jadi ikutan
serius. Tapi bukan maksudnya aku nggak mau bertanggung jawab. Hanya saja, aku
berusaha untuk nggak terbawa situasi. Dalam hati aku udah bertekad untuk
mengganti dendanya, walaupun harus memakai uang Jannah dulu. Kuliat, Jannah
terus-terusan minta tolong sama bapak itu dan nggak lama dia nangis.
“Duh..Jannah, I’m sorry, aku nggak tahu kalau kejadiannya bakalan kekgini.”
Kataku dalam hati. Penasaran, kutanya berapa jumlahnya. “250 ribu Ndah,” kata
Jannah. Glek! Uang dari mana aku sebanyak ituu. Ya Allah! Ambil nyawaku
sekarang juga. Gubrakk!!
Jannah
ngomong lagi ke bapak itu, “Pak, tolonglah pak, nggak ada uang saya segitu.”
“Yaa,
saya nggak mau tahu, itu urusan kalian. Saya nggak bisa buat apa-apa, memang
udah peraturannya gitu.” Kata Pak Polisi. Kalau ada tongkat Harry Potter
disini, pasti bapak itu udah kusulap jadi kodok.
Jannah
bisik ke aku, “Ndah duit ndah ada berapa? Duit Jannah ada 40 ribu.”
“Aku..cuma
10 ribu Jan,” du, aku jadi merasa bersalah sama Jannah.
“Pak,
tolonglah dikurangi, kami cuma ada 50 ribu.” Diliatnya Jannah memohon, makin
ditekannya kami berdua.
“Nggak
bisa lagi dek, udah peraturannya kekgitu. Mungkin kalau adek ini nggak
ketawa-ketawa, nggak jadi saya tilang kalian dek.” Kata Pak Polisi nunjuk ke
arahku.
Lah,
kok jadi aku?? Lututku langsung lemes, bener yang dibilang Jannah. Tapi,
swear!! Aku ketawa bukan karena ngejek bapak itu atau bersikap sepele, tapi
emang kesannya lucu aja, karena aku baru pertama kali ngalami ini. Yahh,
mungkin ini memang lelucon bagi aku, tapi bukan untuk bapak itu. Ya Maaf!
“Gini
aja dek, kalau kalian nggak sanggup bayar, kalian ke pengadilan aja hari blab
la bla, jam blab la bla. Kalian urus disana.” Aku nggak ingat apa yang dibilang
bapak itu. Entah benar atau tidak, tapi kami percaya. Maybe, this is such a
foolish. But we don’t care, cause we must finish this problem.
Si
Jannah yang emang sebelum kejadian ini udah niat ngambil duit di ATM Bank
Sumut, minta tolong sama bapak itu supaya ngasih waktu ke kami sebentar kesana.
“Atau
kesini aja kalian dek, ke ATM BRI, lebih dekat.” Aku baru ingat kalau aku punya
ATM BRI dan untungnya aku bawa. Walaupun isinya nggak banyak, yang penting ada.
Jadilah kami ke ATM BRI. Eh, rupanya ATM-nya rusak. Memutar lagi kami keliling-keliling
nyari ATM BRI dan ATM Bank Sumut. Ampun deh! Ternyata polisi ada dimana-mana.
Karena nggak mau terulang yang kedua kali, aku putuskan jalan kaki dan juma
setelah persimpangan saja. Terpisahlah kami berdua. Terus aku jalan kaki sampai
di Jl. Diponegoro, nunggu Jannah disana. Tapi dianya nggak nongol-nongol. Aku
agak khawatir sedikit mengingat daerah ini sunyi. Takut kalau kalau ada
pangeran ganteng berkuda putih tiba-tiba nyulik aku. Ckck!
Well,
setelah nunggu lama, akhirnya si Jannah nelpon, bilang kalau dia udah membayar
dendanya. Syukurlah, makasih Jannah, baiknya dirimu. Ntar uangnya pasti aku
ganti. Jannah bilang dibagi dua aja bayarnya. Tapi karena ini kesalahanku
gara-gara ketawa-ketiwi sehingga menimbulkan salah persepsi, jadi biar aku saja
yang membayar semuanya walaupun agak-agak dicicil-cicil. Hee, boleh ya Jan?? Ya
begitulah, karena aku tidak mau merepotkan Jannah, aku pun pulang naik becak
dan dia pun juga pulang ke rumah, tidak jadi ke tempat saudaranya.
Sampai
disini aku merenung dan mencoba mengambil sisi positifnya saja. Semoga uang itu
dipergunakan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan yang dikatakan Pak Polisi
tadi. Aku tidak mau su’udzan dan berharap masalah ini jangan sampai mengotori
hati. Masa’ gara-gara uang 250 ribu, kita jadi masuk neraka. Nggak lah yaw!
Uang kan bisa dicari lagi. Allah, please keep me to always be patient and
sincere. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar