Jumat, 25 Oktober 2013

Endah ft. Jannahe Nur Tj – Ditilang Polisi

Gambar dari Google


4 Agustus 2012
Sebelumnya jangan salah paham dengan judul catatan di atas. Itu bukan judul lagu dangdut yang akan aku nyanyikan bersama Jannah. Kan nngak lucu kalau Trio Macan tersaingi sama Duo Macan (kami). Jadi itu judul adalah kejadian yang tadi malam kami alami saat pulang dari buka bersama. Aku tidak akan mengatakan kejadian hari itu adalah hari sial buat kami. Berharap ini ujian dari Allah, karena kalau dipikir-pikir kami nggak salah-salah amat.

Well, aku akan sedikit cerita dari awal . Tadi malam (3 Agustus), aku dan beberapa teman kuliah lagi buka puasa bersama di carefur. Setelah selesai makan kami memutuskan untuk keliling-keliling sebentar. Jannah, salah satu teman nanya tentang satu daerah di Setia Budi ke aku, karena kebetulan rumahku dekat dengan daerah itu. Dia berencana mau ke tempat saudaranya kalau nggak salah. Dan supaya mempermudah dia sampai disana, kami berdua sepakat pulang bareng naik kereta miliknya. Jadi wajarlah kalau aku tidak memakai helm, karena kejadiannya mendadak. Dan dipikir-pikir kayaknya nggak ada polisi malam-malam gini. Dan sekitar pukul setengah Sembilan kami pun pulang.

Dikarenakan aku tidak tahu jalan tikus atau jalan memotong supaya lebih cepat, jadi kami jalan dari jalan besar yang memang jalan itu kulewati setiap hari kalau naik angkot ke kampus. Lalu sampailah kami di jl. Siti Hajar. Disinilah tilang-menilang itu terjadi. Benar benar di luar dugaan. Sewaktu lagi berhenti karena lampu merah, aku melihat ke sekeliling (posisinya aku lagi dibonceng). Tak sengaja mataku menangkap beberapa orang polisi di pinggir kiri jalan agak ke dalam, lagi menilang beberapa pengendara lain. Ya ampun! Aku yang agak panik, bisik-bisik ke Jannah. “Jan, Jan, ada Bard pitt.” Duh, salah! Maksudnya “Jan, Jan, ada polisi!”

Aku buru-buru minta ke Jannah supaya keretanya maju ke depan agar kami tertutupi sama angkot. Sayangnya, kereta di depan kami menghalangi. Kami, dengan suara yang agak dipelan-pelankan, manggil-manggil kakak di kereta itu supaya keretanya maju ke depan dikit, biar kami bisa lewat. Tapi, si kakak nggak dengar-dengar. Nggak mungkin kan kami harus teriak kayak banci lagi pake suara cowok, “Wooyy, majukan keretanya!” Euuww. Jadilah, kami masih dengan suara di pelan manggil-manggil si kakak. Tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada kami. Pak Polisi dengan perut buncit terlanjur mendekati kami dan menyuruh kami menepikan keretanya.

Aku karena baru pertama kali ini kena tilang, menganggap kejadian ini lucu. Jadi, aku nggak berhenti ketawa-ketiwi di belakang Jannah. Mungkin, Jannah juga baru pertama kali. Tapi, dia berusaha terlihat tenang. Aku tau, sebenarnya dialah yang panik setengah mati karena kereta ini miliknya, tapi dia tidak mau menampakkannya.

Lalu, Pak Polisi meminta STNK dan SIM, dan untungnya Jannah bawa. Walaupun ini bukan solusi, tapi paling nggak ini tidak memperumit keadaan. SIM Jannah ditahnnya. Terus, si Pak Polisi jalan duluan ke depan dan nyuruh kami berdua ngikutin dia. Aku masih ketawa-ketiwi di belakang Jannah sampai akhirnya dia bilang “Jangan ketawa Endah.” Ups! Sepertinya aku sadar sesuatu dan perasaanku tiba-tiba jadi nggak enak. Aku liat ke pengendara lain yang ditilang juga. Mungkin mereka sama sama kami, karena salah satu tidak memakai helm.

Kemudian Pak Polisi menunjukkan sama kami kertas yang berisikan pelanggaran-pelanggaran, hukuman dan denda berapa yang harus kami bayar. Aku tidak Nampak jelas berapa jumlahnya, karena posisiku agak jauh. Jannah yang udah ngeliat, ekspresi wajahnya langsung berubah. Aku yang tadinya agak nggak perduli, jadi ikutan serius. Tapi bukan maksudnya aku nggak mau bertanggung jawab. Hanya saja, aku berusaha untuk nggak terbawa situasi. Dalam hati aku udah bertekad untuk mengganti dendanya, walaupun harus memakai uang Jannah dulu. Kuliat, Jannah terus-terusan minta tolong sama bapak itu dan nggak lama dia nangis. “Duh..Jannah, I’m sorry, aku nggak tahu kalau kejadiannya bakalan kekgini.” Kataku dalam hati. Penasaran, kutanya berapa jumlahnya. “250 ribu Ndah,” kata Jannah. Glek! Uang dari mana aku sebanyak ituu. Ya Allah! Ambil nyawaku sekarang juga. Gubrakk!!

Jannah ngomong lagi ke bapak itu, “Pak, tolonglah pak, nggak ada uang saya segitu.”

“Yaa, saya nggak mau tahu, itu urusan kalian. Saya nggak bisa buat apa-apa, memang udah peraturannya gitu.” Kata Pak Polisi. Kalau ada tongkat Harry Potter disini, pasti bapak itu udah kusulap jadi kodok.

Jannah bisik ke aku, “Ndah duit ndah ada berapa? Duit Jannah ada 40 ribu.”

“Aku..cuma 10 ribu Jan,” du, aku jadi merasa bersalah sama Jannah.

“Pak, tolonglah dikurangi, kami cuma ada 50 ribu.” Diliatnya Jannah memohon, makin ditekannya kami berdua.

“Nggak bisa lagi dek, udah peraturannya kekgitu. Mungkin kalau adek ini nggak ketawa-ketawa, nggak jadi saya tilang kalian dek.” Kata Pak Polisi nunjuk ke arahku.

Lah, kok jadi aku?? Lututku langsung lemes, bener yang dibilang Jannah. Tapi, swear!! Aku ketawa bukan karena ngejek bapak itu atau bersikap sepele, tapi emang kesannya lucu aja, karena aku baru pertama kali ngalami ini. Yahh, mungkin ini memang lelucon bagi aku, tapi bukan untuk bapak itu. Ya Maaf!

“Gini aja dek, kalau kalian nggak sanggup bayar, kalian ke pengadilan aja hari blab la bla, jam blab la bla. Kalian urus disana.” Aku nggak ingat apa yang dibilang bapak itu. Entah benar atau tidak, tapi kami percaya. Maybe, this is such a foolish. But we don’t care, cause we must finish this problem.

Si Jannah yang emang sebelum kejadian ini udah niat ngambil duit di ATM Bank Sumut, minta tolong sama bapak itu supaya ngasih waktu ke kami sebentar kesana.

“Atau kesini aja kalian dek, ke ATM BRI, lebih dekat.” Aku baru ingat kalau aku punya ATM BRI dan untungnya aku bawa. Walaupun isinya nggak banyak, yang penting ada. Jadilah kami ke ATM BRI. Eh, rupanya ATM-nya rusak. Memutar lagi kami keliling-keliling nyari ATM BRI dan ATM Bank Sumut. Ampun deh! Ternyata polisi ada dimana-mana. Karena nggak mau terulang yang kedua kali, aku putuskan jalan kaki dan juma setelah persimpangan saja. Terpisahlah kami berdua. Terus aku jalan kaki sampai di Jl. Diponegoro, nunggu Jannah disana. Tapi dianya nggak nongol-nongol. Aku agak khawatir sedikit mengingat daerah ini sunyi. Takut kalau kalau ada pangeran ganteng berkuda putih tiba-tiba nyulik aku. Ckck!

Well, setelah nunggu lama, akhirnya si Jannah nelpon, bilang kalau dia udah membayar dendanya. Syukurlah, makasih Jannah, baiknya dirimu. Ntar uangnya pasti aku ganti. Jannah bilang dibagi dua aja bayarnya. Tapi karena ini kesalahanku gara-gara ketawa-ketiwi sehingga menimbulkan salah persepsi, jadi biar aku saja yang membayar semuanya walaupun agak-agak dicicil-cicil. Hee, boleh ya Jan?? Ya begitulah, karena aku tidak mau merepotkan Jannah, aku pun pulang naik becak dan dia pun juga pulang ke rumah, tidak jadi ke tempat saudaranya.

Sampai disini aku merenung dan mencoba mengambil sisi positifnya saja. Semoga uang itu dipergunakan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan yang dikatakan Pak Polisi tadi. Aku tidak mau su’udzan dan berharap masalah ini jangan sampai mengotori hati. Masa’ gara-gara uang 250 ribu, kita jadi masuk neraka. Nggak lah yaw! Uang kan bisa dicari lagi. Allah, please keep me to always be patient and sincere. Amin.

Tidak ada komentar: