Jumat, 25 Oktober 2013

Cerpen 4: Love In September

Gambar dari Google



Oktober 2012. . . 
Biarkan musim di hati kita menjadi semi,
Dan hujan di luar sana adalah air yang menumbuhkan bunga-bunganya .. 

Aku tulis sajak ini beberapa hari yang lalu, saat malam jatuh pelan-pelan dan rintik hujan tengah mengurai cerita tentangmu. Padahal aku sangat ingin menyimpannya, membacanya dalam hati, seperti sajak cinta yang dihembuskan angin, tanpa suara. Tapi lagi-lagi aku tak bisa. Aku tak pernah bisa merahasiakan ini sendirian. Bahkan aku tidak bisa menyembunyikan senyumku saat mengingatmu. Aih..dasar cinta. Lima huruf yang tak bernyawa, tapi kenapa substansinya bisa begitu berpengaruh.
 

Kau tau, ini sudah hari ke-48 semenjak aku mengenalmu sebagai seorang teman, hmm..lebih tepatnya sebagai guru bahasa arabku. Sampai sekarang, aku masih tidak bisa mencari-cari dimana letak rasionalitas ketika aku duduk dihadapanmu dan kita bisa sedekat itu. Aku bahkan bisa dengan jelas melihat warna bola matamu yang seindah senja atau alis matamu yang lebat seperti semut beriring. Yah, awalnya aku kira kacamatamu lah yang membuat aku tertarik, maksudku aku suka dengan pria yang berkaca mata. Tapi rasa-rasanya setelah aku mengenalmu, ada sesuatu yang lain yang membuat aku yakin dengan perasaanku sekarang: aku jatuh cinta padamu. Hm..aku jadi ingat bagaimana kisah ini bermula. . .
***

Juli 2012. . . 
Matahari masih menorehkan warna cerah ke langit sore. Namun, udara disini terasa sejuk karena dedaunan pohon yang ada di sekitar kami. Sudah pukul 3, namun kami masih betah berlama-lama mengobrol.

“Udah Bel, sms aja dia, nih aku ada nomornya kalau Bela mau,” Tia mengacungkan handphonenya ke arahku. Tia adalah teman satu organisasiku, dan kebetulan dia satu jurusan dengan Fatir di kampus, seseorang yang belakangan ini bisa dibilang cukup mengganggu pikiranku.

“Nggak ah, aku nggak berani. Lagian aku mau ngomong apa Tiiaa. Kami kan nggak saling kenal.” Lebih tepatnya dia yang tidak mengenalku, pikirku dalam hati.

“Ya coba aja Bel, ajak kenalan.”

“Ihh Tia, aku kan cewek, masa ajak kenalan duluan. Nggak mau ah! Lagian kamu kayak berani ajalah. Padahal dia pun nggak berani gitu sama orang yang disukainya.

“Hehe, aku nggak ada nomornya Bel. Lagian udah nggak ada pun orangnya, udah tamat dia Bel.”

“Huh, dasar!”

Kami terdiam beberapa saat. Menikmati semilir angin sore yang berhembus pelan. Menyelami pikiran masing-masing sambil bertanya-tanya, kenapa memendam perasaan cinta terhadap seseorang bisa menjadi sedemikian rumit. Terkadang aku merasa tidak adil. Mungkin kalau aku adalah seorang pria, sepertinya tidak akan serumit ini. Hey, tiba-tiba saja aku punya ide!

“Tia, Dia pintar bahasa arab nggak?”

“Mungkinlah Bel, dia kan tamatan dari pesantren. Kenapa? Bela mau belajar bahasa arab yaa?” Tia menggodaku.

“Hmm yaa, aku emang ada niat pengen belajar bahasa arab dari dulu. Kira-kira dia pintar bahasa arab nggak ya?” Aku mengerlingkan mata ke arah Tia. Sepertinya Tia mengerti apa yang kumaksudkan.

"Mau aku tanyakin nggak??”

Aku ragu sejenak. Rasanya sangat konyol kalau meminta dia untuk menjadi guru bahasa arabku. Tapi sebenarnya bukan itu sih yang menjadi masalah, justru aku malah khawatir kalau kalau niatku belajar bahasa arab jadi berubah, bukan karena ingin pandai bahasa arab, tapi karena ingin dekat dengannya. Ah, kenapa harus berpikir rumit lagi. Kelihatannya aku bisa mengantisipasi itu. Hm..lagian nggak ada salahnya kan?
***

September 2012. . .
Sudah sepuluh menit kami menunggu dia di koridor kampus. Aku mengajak Cahaya, teman sekelasku, untuk ikut belajar bahasa arab bersamaku. Fatir yang memintanya, agar kami tidak hanya berdua saja. Aku setuju, karena memang begitulah yang aku inginkan, hanya saja aku segan memintanya terlebih dahulu. Dan kami sepakat bertemu disini untuk membicarakan kapan jadwal belajar bahasa arab dimulai.

“Bela ya?” Fatir menyapaku duluan.

“Iya” kataku setengah gugup. Aku senang dia mengenaliku. Pasalnya pada saat kami berkenalan lewat sms beberapa minggu yang lalu, dia bilang dia tidak mengenalku. Aku agak kecewa, soalnya kami sering berpapasan di kampus. Katanya, mungkin dia akan mengenalku kalau melihatku langsung. Aku menduga pasti dia juga memastikannya lewat foto di facebook sehingga dia langsung mengenalku.

“Gimana, kapan kita mulai belajarnya?”

“Tergantung Fatir aja, Fatir kan gurunya, jadi Fatir aja yang nentukan waktunya.”

“Oh, gitu ya.” Ucap Fatir tersenyum.

Kami pun berdiskusi untuk menentukan jadwal. Tidak mudah mencari waktu luang bagi mahasiswa yang berorganisasi seperti kami. Aku bergelut di dunia Pers, Fatir dibagian dakwah, sedang Cahaya di Kajian Hukum Islam. Dan setelah kurang lebih lima belas menit kami berdiskusi untuk menyesuaikan dengan jadwal masing-masing. Akhirnya kami temukan juga jadwal yang pas. Hmm..sepertinya ini akan menjadi September yang indah. Aku tidak bisa berhenti tersenyum.
***

Ini hari pertama pelajaran bahasa arab kami dimulai. Tanggal 14 September, aku tentu tidak akan pernahmelupakan tanggal ini, tanggal yang juga pernah menjadi sejarah amat penting dalam hidupku. Sama seperti hari ini. Hanya saja itu sudah menjadi cerita lalu. Dan aku berharap dia bukanlah orang yang akan menjadi masa lalu.

Sekitar pukul sebelas siang kami memulai pelajaran pertama. Fatir dengan detail menjelaskan materi-materi dasar yang akan kami pelajari. Aku memperhatikan dia dengan seksama. Bahkan sangat fokus malah, sampai sedikitpun tak berkedip. Cahaya sampai menyikut lenganku. Ups!..astahgfirullah, saatnya menundukkan pandangan.

Tapi jujur kukatakan bahwa dia terlihat cerdas dan sangat menguasai bahasa arab. Kurasa dia salah ketika saat perkenalan dulu dia bilang dia belum profesional. Ah, bahkan dia juga pandai bahasa inggris. Duh..malunya! Ini gara-gara kesepakatan yang kami buat di awal. Dia bilang dia tidak mau dibayar dengan alasan belum profesional. Karena aku merasa tidak enak padanya, lantas aku menawarkan diri untuk mengajari dia bahasa inggris. Dan dia pun men-deal-kan kesepakatan itu dengan alasan dia juga kurang pandai bahasa inggris. Tapi nyatanya, dia bahkan lebih lancar berbicara bahasa inggris daripada aku . Huh, dasar!

Namun, sejauh ini sangat menyenangkan belajar bahasa arab dengannya. Dia sangat lucu sehingga suasana terasa mencair. Dia juga sabar mengajari kami yang memang buta sama sekali tentang bahasa arab. Kelihatannya kami tidak salah memilih guru. Selain itu, dia juga tau kapan harus serius dan kapan waktunya bercanda. Aku sangat menikmati metode pembelajaran yang dia buat, walaupun agak sedikit…em..deg-degan. Sialnya ini berdampak pada saat kami disuruh menghapal beberapa kosakata. Cahaya bisa dengan lancar menghapal semuanya, sedang aku..

”Rileks aja Bela.”

Fatir menegurku, dia tersenyum. Cahaya tertawa. Dan aku hanya bisa menghela napas. Huft. . .
***

Aku melangkah ringan ke kampus. Untuk pertama kalinya aku begitu semangat pergi ke kampus, semangat yang berbeda, semangat yang hanya dirasakan saat orang-orang sedang jatuh cinta. Hari-hari terasa seperti musim semi. Dan aku sangat suka suasana hati yang seperti ini. Sudah lama aku tidak merasakannya semenjak dua tahun yang lalu. Aku bersyukur karena Allah sudah menciptakan rasa ini dan juga bulan September, bulan yang selalu membawa keceriaan untukku.

Fatir. Ah, pria berkaca mata itu. Kenapa harus dia orangnya. Aku baru sadar, sejak dua tahun yang lalu, saat pertama kali aku melihatnya di bimbingan tes sebelum ujian SPMB kampusku, aku sudah kagum dengannya. Hanya saja, perasaan ini tidak sekuat sekarang. Dahulu kalau berpapasan di kampus, aku bisa bersikap biasa, bahkan cenderung cuek. Tapi sekarang, hanya dengan melihatnya sebentar saja dari balik jendela kelasku, rasanya sudah bahagia. Apalagi semenjak beberapa kali pertemuan dan kami semakin akrab. Perasaan ini semakin tumbuh tanpa bisa aku cegah. Tentang bagaimana perasaannya terhadapku, entahlah aku tidak tahu pasti. Aku tentu berharap dia juga punya perasaan yang sama terhadapku.

Mungkin sebagian orang menganggap caraku ini berlebihan. Apalagi aku adalah seorang wanita. Tapi aku tidak perduli. Aku hanya ingin menikmati perasaan ini, perasaan yang membuatku ingin selalu terjaga, perasaan yang membuat kenyataan lebih indah dari pada khayalan. Karena aku belum tau ending cerita ini akan bagaimana nantinya. Mungkin, jika suatu saat nanti aku berani mengungkapkan isi hatiku ini padanya, maka akan kuberikan cerpen ini padanya. Agar dia membaca, membaca apa yang tak mampu aku ucapkan lewat kata-kata.

NB: Cerpen ini masuk dalam buku Antologi Cerpen Melepas Senja 


Tidak ada komentar: