Minggu, 06 Mei 2012

Cerpen 2: Pohon Impian


Dia fokus menatap kertas putih kosong dihadapannya. Tangan kiri memegang pensil yang ujungnya tak begitu runcing. Tidak seperti kebanyakan orang, gadis kecil itu mengandalkan tangan kirinya untuk menulis. Bukan…bukan karena dia tidak mampu menulis dengan tangan kanan, hanya saja tangan kanannya tidak ada. Tuhan hanya menciptakan satu tangan untuknya.
                Nama gadis kecil itu Syila, usianya baru 6 tahun. Syila sangat suka menggambar. Menggambar apa saja yang menjadi sumber inspirasinya. Sudah banyak yang ia gambar ; mama, papa, matahari, burung, hujan, semut, dan yang lainnya. Tidak perduli gambar itu bagus atau jelek. Yang penting Syila bisa menatapnya di dinding kamar, saat dia hendak tidur atau sebelum berangkat sekolah.
                Hari ini syila ingin menggambar pohon. Syila suka pohon. Menurutnya pohon itu ramah dan suka berteman. Buktinya, saat ia dan temannya bermain dibawah pohon, pohon tidak marah. Malah pohon melindungi mereka dari panas dan hujan. Makanya Syila menggambar pohon. Syila ingin menjadi seperti pohon yang suka berteman dan melindungi teman-temannya. Hmm…gadis kecil yang polos.
                Mulailah Syila menggoreskan pensilnya pada kertas. Tangannya bergerak lincah seperti orang yang sudah ahli dalam menggambar. Sesekali keningnya berkerut, dihapusnya garis-garis yang tak sejajar itu. Syila berusaha keras menggambar pohon impiannya agar terukir sempurna. Seperti mengukir sebuah kehidupan. Semua orang ingin terlihat sempurna. Padahal, justru karena ketidaksempurnaan itulah yang membuat mereka tampak istimewa. Sayangnya, hanya segelintir orang yang memahaminya.
                Selesai sudah gambar yang dibuat Syila. Saatnya untuk mewarnai gambar. Tak seperti warna pohon pada umumnya, Syila ingin pohon impiannya berwarna merah. Begitulah Syila, dia tidak terkondisi dengan apa yang dilihatnya. Syila tau apa warna yang benar-benar diinginkan pada gambar yang dibuatnya. Seperti waktu itu, Syila menggambar matahari dengan warna biru, dan hijau untuk langit. Teman-teman yang melihat gambar Syila, mencemoohnya.
“ihhh, gambar apa ni?? kok warnya nggak sesuai??”
“hahaaha…gambarnya jelek! gambar begitu mana pantas dipajang, lebih bagus dibuang ke tong sampah.”
Bahkan gurunya pernah bilang :
“ Syila, kenapa warnanya begini? gambarmu jadi terlihat aneh. Tidak boleh mengganti warna yang sudah ada. Tuhan sudah menciptakan warna yang pas, jadi ikuti saja. Ganti warna gambar sekarang juga atau Ibu tidak akan menilainya.”
Huh..!! memangnya kenapa kalau warnanya beda. Tuhan saja tidak marah. Kenapa justru mereka yang melarang-larang? aahh…Syila tidak perduli, dia tetap menggambar dengan warna yang diinginkannya.
                Syila lupa kalau cat warnanya sudah habis. Diambilnya uang 20 ribu di laci meja belajar. Sambil memegang gambar pohon impiannya, dia melangkahkan kakinya menuju mini market diseberang rumah. Karena terlalu bersemangat, Syila berlari dan tidak memperhatikan jalan.
CCCCIIIIITTTTTTT…!!!!!!
Mendadak terdengar suara rem mobil diiringi benturan yang terdengar begitu keras. Kertas itu berhambur lalu jatuh di samping tubuh Syila. Cipratan darah menodai gambar pohon impiannya. Sesuai dengan keinginan Syila, pohon impiannya terlukis dengan warna merah . . . . .


NB : Terinspirasi dari novel Dadaisme ( Dewi Sartika )

2 komentar:

Rizky Nabila mengatakan...

jd keinget sm sesorang bacanya..
aaiiihh kakak
keep it up!!!

Endah T. Setiari mengatakan...

haha...who nab??

kakak lg pengen belajar buat cerpen bertema cintalah, tpi yg berkualitas dn gk alay kesannya..hoho,
semoga bisa yaahh..