Minggu, 20 Mei 2012

Cerpen 3: Kopi Untuk Ayah


            Derrrtt….I’ll spread my wings and I learn how to play..ddeerrtt…derrtrr… Alarm hp-ku berdering, pukul 04.00 pagi. Uuhh..aku masih mengantuk. Kubiarkan saja Kelly Clarkson bercicit-cuit dan aku kembali melanjutkan tidur. Derrtt..out of the darkness and into the sun..derrt..deerrtt.. Haahh..lama-lama terusik juga. Kuputuskan untuk bangun dan mematikan alarm. Jam 3 dini hari, aku baru bisa tidur. Alhasil, kepalaku sedikit pusing karena tidur yang tak nyenyak. Ditambah lagi perasaan yang masih cemas karena teringat wajah pucat ayah yang tak biasa tadi malam.
Aku beranjak malas dari tempat tidur, terseok-seok aku melangkahkan kaki ke kamar mandi. Kubasuh Wajah. Sejuknya air sedikit menenangkanku. Seperti biasa, sebelum memasak sarapan, kudidihkan seceret air. Sambil meracik makanan untuk sarapan pagi, aku teringat ayah. Disini aku hanya tinggal berdua bersama ayah. Ibu sudah meninggal semenjak aku berusia 2 tahun.  Aku dan ayah sangat dekat. Beliau bukan hanya menjadi seorang ayah untukku, melainkan sahabat bahkan pengganti sosok Ibu. Begitulah, ayah tidak memilih untuk menikah lagi, sehingga aku lah yang menggantikan ibu untuk mengurus ayah.
            Tapi, aku khawatir dengan penyakit ayah. Awalnya aku curiga dengan sikap ayah yang tak biasa. Misalnya, ayah sering lupa meletakkan kunci mobil, atau keliru dengan keadaan di sekitar rumah. Dan bahkan yang lebih parah, ayah sering tidak mengenali rekan-rekan kerjanya dan juga anggota keluarga terdekat. Masih banyak lagi gejala-gejala yang diperlihatkan ayah, dan itu tidak biasa menurutku. Jadi aku semakin yakin bahwa ini bukan karena faktor usia semata, tapi pasti ada penyakit yang diidap ayah. Dan nyatanya, pengamatanku benar. Demi mengetahui penyakit yang diderita ayah, aku rela mengambil uang tabunganku ditambah uang tabungan ayah untuk berangkat ke Rumah Sakit di Singapura.
            Hasil analisa dokter membuktikan hal itu . Ternyata ayah mengidap penyakit Alzheimer. Penyakit yang sangat jarang ada. Dokter bilang Alzheimer bukan penyakit menular, melainkan penyakit sejenis sindrom dengan apoptosis (mekanisme biologi yang merupakan salah satu jenis kematian sel terprogram) sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan kecil. Dokter juga bilang resiko untuk mengidap penyakit ini, meningkat seiring dengan pertambahan usia. Oleh karena itu, penyakit ini tidak terlalu terlihat secara eksistensi, tapi lebih terlihat pada sikap yang beda dikarenakan penyakit ini adalah penyakit syaraf. Jujur, aku tidak begitu paham dengan hasil analisa dokter. Yang terpenting untukku adalah mengetahui bagaimana cara pengobatan yang harus dilakukan ayah agar penyakit ini tak semakin meraja lela ditubuhnya. Ayah…aku sangat sayang pada ayah. Ya Allah, maaf jika aku tak ingin Kau mengambil ayahku dengan cepat. Aku masih ingin disini bersama ayah. Sejenak, aku jadi teringat kejadian hari itu … 
***
            “Ara..Ara…buka pintunya sayang?” Ayah memanggilku dari depan pintu kamar.   “Ara lagi pengen sendirian ayah…hiks..hiks..”, aku menjawab.
             “Ara, jangan begitu, kamu sudah menangis seharian, tidak mau makan, tidak mau keluar kamar, juga tidak mau bicara pada ayah. Ayolah nak, ada masalah apa? bicara dong pada ayah. Tidak biasanya kamu begini. Biasanya kamu selalu cerita pada ayah.”
             Namun, aku diam dan tidak membalas perkataan ayah. Kemudian ayah berkata lagi,         “Ara, kita hanya berdua disini, kalau tidak cerita dengan ayah, dengan siapa lagi. Apa Ara tega membuat ayah cemas begini ?”
            Aku tidak sanggup. Aku paling tidak bisa mengecewakan ayah. Sambil sesenggukan aku membuka pintu kamar. Ayah mengajakku ke ruang tamu. Disana aku menceritakan semua masalahku pada ayah.
            “haha..jadi ini masalahnya” kata ayah.
             “iihhh…kok ayah malah tertawa?” kataku jengkel.
 “maaf nak, ayah nggak bermaksud menyinggung kamu, hanya saja mendengar cerita kamu ini, ayah malah jadi teringat masa muda waktu ayah masih SMA juga seperti kamu ” kata ayah lagi.
             Aku jadi malu sendiri pada ayah, karena masalahku sekarang adalah patah hati. Aaahhh…
            Ayah menasehatiku, “Ara, biarkan hati itu Allah yang memiliki, jangan berikan kepada apa dan siapapun”.
            Nasihat yang singkat tapi bermakna dalam. Aku terdiam serjenak, memikirkan kata-kata ayah tadi. Benar yang dibilang ayah, aku tidak boleh mencintai seseorang terlalu dalam, karena yang pantas dicintai hanya Allah. Uuhh…kok aku jadi cengeng begini. Masa gara-gara patah hati saja aku jadi merajuk seharian. Aduh, betapa bodohnya aku.
             “Ayah, makasih ya..Ara sayang sama ayah, Ara akan selalu dengerin nasihat ayah dan nggak mau sedih lagi. Lagian kenapa Ara harus sedih, toh Ara cuma kehilangan dia aja. Ara akan tetep bahagia walaupun nggak ada dia, karena Allah ada dihati Ara, dan juga ada ayah disini. Hahaha ..”, kataku sambil memeluk ayah.
             “Iya nak, ayah juga sayang sama Ara, Ara nggak pernah sendirian disini. Karena ada ayah yang selalu siap mendukungmu. Makanya, jangan sedih lagi ya “ kata ayah menenangkan hatiku. Ah..Ayah, Ara nggak akan lupain kata-kata Ayah.
***
            Bunyi melengking dari ceret yang menandakan air sudah mendidih, menyadarkan lamunanku. Kumatikan kompor. Sarapan yang ku buat juga sudah selesai. Kulirik kearah jam, pukul 05.00. Aku harus membangunkan ayah untuk sholat subuh berjama’ah. Tapi, seperti biasa, sebelum itu, aku akan membuatkan kopi dulu untuk ayah, sehingga setelah selesai sholat nanti, minuman itu menjadi hangat dan lebih terasa nikmat untuk diteguk. Dan kopi adalah minuman wajib ayah setiap pagi.
            Kudekati pintu kamar ayah. Tok..tok..tok..”Ayah…bangun ayah, sholat subuh dulu.” Tok..tok..tok…kuketuk pintu sekali lagi dan kupanggil ayah lebih keras. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa ayah sudah bangun. Perasaanku tak enak. Tak sabar, kubuka pintu kamar ayah. Aku kaget. Ternyata ayah sudah bangun dan sedang sujud dalam sholat. Loh..inikan masih adzan subuh, apa ayah sholat sunnah dulu yah..pikirku. Tidak mau menganggu ayah, kutunggu  beliau di pintu kamar. Aneh..kenapa ayah tidak bangkit-bangkit dari sujud, apakah karena sholatnya terlalu khusyu’. Tapi tidak mungkin ayah sujud selama itu. Hati-hati aku mendekati ayah, takut beliau terganggu. “Ayah..” pelan kupanggil namanya. Perasaanku cemas. Kusentuh tubuhnya. Astaghfirullah… betapa kagetnya aku, saat tubuh ayah jatuh kesamping. Semua memoriku dengan ayah berkelebat dengan cepat. Aku menangis. Seketika aku sadar akan firasatku tadi malam, wajah pucat itu, wajah pucat yang tergambar di wajah ayah sekarang menandakan beliau sudah tidak ada disini lagi.
*** 
            Malam semakin pekat. Angin mendesir pelan, menenangkan jiwa-jiwa yang masih terlelap. Tapi aku masih terjaga. Disini, aku duduk sendirian di meja ruang makan bersama kopi yang kubuat untuk ayah. Sambil menangis, aku membayangkan ayah ada didepanku. Tersenyum sambil menikmati kopi hangat buatanku. Aku tau, ayah tidak ada lagi disini, tapi kenangan bersamanya akan tetap hidup. Ya Allah, kirimkan salamku untuknya. Katakan padanya, betapa aku sangat merindukannya….


NB : Terisnspirasi dari nasehat My Father :)

Tidak ada komentar: